Pendeta Gomar Gultom, Ketua Umum PGI, melayani ibadah pembukaan Sidang ke-38 Sinode GPM, Minggu,7 Februari 2021 yang lalu. Khotbah paranesis itu diberinya judul ”Beritahukanlah Tahun Rahmat Tuhan telah Datang dan Kerjakanlah Keselamatanmu”, dengan tiga nas Alkitab masing-masing Yesaya 61:1-2, Lukas 4:18-19, dan Filipi 2:12-13.
Dalam khotbahnya, Gultom mengingatkan bahwa persidangan Sinode ini tidaklah terselenggara di ruang hampa, melainkan dalam suatu masa kini sebagai masa yang sulit akibat pandemi yang telah mendera perjalanan bangsa kita, tetapi juga ragam ragam masalah terkait dengan krisis kebangsaan dan krisis ekologis yang menimpa dunia ini. Dalam konteks itu, Gultom bertanya: apa refleksi dan aksi kita di tengah pandemi dan berbagai bencana yang telah kita alami? Sebab di sini kita harus berani mengevaluasi bentuk-bentuk kehadiran kita sebagai gereja yang Tuhan utus dan tempatkan di bumi Maluku ini. Sebab kadang gereja hanya memainkan peran-peran kultis sehingga peran transformatif sebagai gereja yang menyejarah makin hari makin surut, juga karena banyaknya waktu dan energi kita tercurah hanya mengatasi masalah-masalah institusi dan keorganisasian gereja kita.
Meringkas khotbah yang bernas itu, Gultom menyandingkan konteks umat Israel di zaman nabi Yesaya, yang cenderung mengistimewakan posisinya sebagai umat pilihan Alah, dan konteks masyarakat di zaman Yesus, pada Kerajaan Romawi, di mana kehidupan sosio-ekonomi-politik-budaya dan keagamaan mereka sedang porak poranda. Penjajahan Romawi telah merampas kemerdekaan dan martabat mereka sebagai bangsa dan melahirkan berbagai bentuk penindasan dan penderitaan. Celakanya, lembaga keagamaan yang ada tidak banyak menolong, selain menambah kesulitan dengan berbagai penafsiran hukum yang lebih bertujuan untuk memuaskan taurat daripada memenuhi kebutuhan manusia. Bahkan para pemimpin agama cenderung menggunakan agama sebagai alat untuk mempertahankan status mereka. Dalam keadaan seperti itu bisalah dibayangkan: rakyat miskin pada lapis bawah akan selalu terpinggirkan. Agama telah menjadi beban dan lebih bertumpu pada ritus-ritus dan tradisi.
Di tengah-tengah keadaan yang seperti itulah kita melihat dalam Lukas 4, kehadiran Yesus yang dengan jelas menunjukkan: Ia datang untuk menyatukan diriNya dengan yang miskin dan menderita. Dan sejalan dengan itu, Ia datang untuk memperjuangkan kehidupan dan penghidupan mereka.
Agak mengherankan, Yesus memilih nats pada Lukas 4 itu, dari Yesaya 61:1-2 dan menyatakan bahwa kehadiranNya telah menggenapi nats tersebut.
Menurut Gultom, nas yang dikutip Yesus ini, Yesaya 61:1-2, ditulis pada abad kelima, saat pembuangan orang Israel di Babel. Nubuatan ini ditujukan kepada mereka yang kehilangan tanah air, yang kehilangan identitas diri sebagai bangsa, yang kehilangan kebanggan mereka sebagai bangsa pilihan, sebagai korban dari ketidakadilan dan kebijakan imperialis Babelonia. Sebetulnya, dalam perjalanan sejarah Israel, sejauh pemahaman orang Israel, nubuatan ini telah Allah genapi dengan pembangunan kembali Jerusalem, pembangunan kembali Bait Allah. Tetapi, Yesus katakan justru kehadiran-Nya menggenapi nubuatan itu, sesuai teks Lukas 4:21, ketika Yesus berkata: ”Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.”
Yang bisa kita katakan mengenai hal ini adalah, bahwa janji Tuhan, meskipun sudah digenapi dalam sejarah, tidak akan pernah habis; akan selalu ada bentuk penggenapan yang baru dalam hidup kita. Kepada semua yang kehilangan tanah air, yang tertindas, yang miskin dan yang papa, selalu ada janji dan kelak penggenapannya.
Inilah salah satu peran strategis gereja yang menyejarah: menumbuhkan harapan di tengah kondisi sulit yang bagaimana pun, termasuk di masa sulit pandemi ini. Agar pandemi ini tidak berubah menjadi pandemi keputusasaan, gereja mesti hadir membawa harapan. Harapan yang tentunya sangat berbeda dengan impian-impian utopis.
Dan kalau persidangan ini mengambil tema ”Beritahukanlah Tahun Rahmat Tuhan telah Datang dan Kerjakanlah Keselamatanmu”, itu adalah ungkapan komitmen kolektif seluruh warga dan pelayan GPM untuk memberlakukan Tahun Rahmat Tuhan yang telah tiba di Maluku, di Indonesia bahkan di seluruh dunia.
Menarik bahwa Yesaya 61yang menjadi pijakan tema ini dimulai dengan frasa ”Roh Tuhan ada padaKu”. Ungkapan ini hendak menyatakan kepada kita: bahwa perjuangan memberitahukan Tahun Rahmat Tuhan itu dan upaya mengerjakan buah keselamatan bukanlah dari dan untuk GPM sendiri, bukanlah dari dan untuk kita semata, tetapi ada suatu kuasa yang harus kita turuti, yakni Roh Tuhan. Pada saat sama ungkapan ini juga berarti bahwa kehadiran kita semua, kehadiran bersejarah ini, kehadiran GPM, sama seperti kehadiran Yesus di dunia ini adalah untuk menjawab kebutuhan konkrit dari realita masyarakat dimana kita diutus. Dia bukan untuk mengumpulkan jemaat dan beribadah di dalam gereja saja, tetapi panggilan untuk pergi keluar dan menghasilkan buah, dan buahmu itu tetap.
Membawa kabar baik kepada orang-orang miskin dalam nats ini jelas menunjuk akan pembebasan dari berbagai belenggu sosio, ekonomi, politik dan budaya. Demikian pun pembebasan bagi orang tawanan, orang buta dan yang tertindas menunjuk pada kondisi sosial politik dan ekonomi. Kita tak harus memahaminya dalam arti kiasan sebagai yang rohaniah, seperti kecenderungan gereja-gereja tertentu. apalagi bila kita letakkan missi kehadiran Yesus ini yang Ia hubungkan dalam terang Tahun Rahmat Tuhan (Yobel). Dalam pemahaman ini, kabar baik bagi si miskin berarti bila setiap orang mempunyai peluang untuk sama-sama menikmati sumber-sumber ekonomi, politik dan kebudayaan dalam masyarakat.
Kita sama mengetahui, tahun Yobel secara berkala mengajak kita untuk selalu kembali ke satu titik yang sama: penghapusan utang dan redistribusi tanah. Tujuan penghapusan hutang itu adalah untuk mengindari keruntuhan ekonomi yang bisa terjadi karena beban utang yang terlalu berat. Ajakan Tahun Yobel ini seolah hendak mengatakan kepada kita: seluruh realitas yang ada sekarang ini adalah keadaan yang tidak seharusnya dan seluruh sistim yang mengakibatkannya tidak mutlak harus diberlakukan.
Ajakan seperti ini merupakan mekanisme sosio-ekonomis untuk mencegah pemilikan tanah yang luas dan makin melebarnya kesenjangan kaya-miskin. Menyikapi realitas kesenjangan yang terjadi di tengah masyarakat seperti itulah Ulangan 15 dan Imamat 25 berusaha memperbaikinya dalam bentuk peraturan Tahun Yobel.
Tawaran peraturan Tahun Yobel ini mengindikasikan adanya suatu sistim ekonomi yang berulang-ulang menimbulkan beban utang, yang mengakibatkan sejumlah besar orang kehilangan tanah mereka dan menjadi miskin. Ini juga kecenderungan beberapa daerah di Indonesia termasuk saya tahu persis beberapa wilayah di Maluku ini, orang mulai kehilangan tanah. Upaya memperbaiki akibat buruk pemiskinan di bidang ekonomi ini, tidak hanya reaktif terhadap perkembangan yang ada, tetapi sangat radikal: menghentikan segala penggilas ekonomi yang menimbulkan perkembangan sedemikian dengan kembali ke titik awal. Para penyusun peraturan ini dengan tegas mau mengatakan: kami menolak pemberlakuan sistim yang sekarang berlaku, yang ternyata menghisap kehidupan rakyat.
Dan inilah yang sekarang, lewat bacaan kita, dirujuk oleh Nabi Yesaya dengan menyebutkan Tahun Rahmat Tuhan dan yang oleh Yesus diklaim telah digenapi dengan kehadiranNya.
Dan saat ini, Sidang Sinode ke-38 ini mengangkatnya menjadi komitmen kolektif kita. Mungkin sebagian diantara kita akan mengatakan bukankah hal ini suatu gagasan yang utopias? Dalam prakteknya, kita memang sulit menemukan bukti-bukti historis maupun sastra bahwa ajakan perayaan Tahun Yobel ini pernah diimplementasikan dalam kehidupan orang Israel. Catatan-catatan ini sangat terbatas, namun dalam kehidupan bangsa-bangsa di seluruh kawasan Timur Dekat kuno, praktek semacam ini cukup dikenal dan lazim dipraktekkan. Bedanya adalah, pada bangsa-bangsa Timur Dekat kuno hal itu dipraktekkan hanya bagi para pendukung raja-raja, ketika raja baru naik tahta. Berbeda halnya bagi Israel dengan tahun Yobel, praktek pembebasan ini berlaku bagi setiap orang tanpa terkecuali dan berlaku secara berkala.
Tahun Yobel mulanya diusulkan sebagai program pemulihan yang mungkin dan dapat dilaksanakan, namun kemudian bisa saja tidak terwujud akibat rintangan-rintangan tertentu. Namun satu hal yang pasti, ada kehendak yang kuat untuk menjamin distribusi yang adil dan pengolahan tanah secara semestinya.
Pemberitaan Yesus mengenai Tahun Yobel ini menimbulkan harapan bagi si miskin, tetapi sekaligus ancaman bagi si kaya. Dan ini tetap berlangsung hingga kini. Jiwa revolusioner yang dibawa Yesus, yang oleh kesetiaanNya menjalankan misi yang diembanNya, mau tidak mau akan berhadapan dengan kekuatan yang cenderung mempertahankan dan menyembunyikan realita yang sebenarnya. Hal ini berhubung dengan pewartaan kabar baik yang mau tidak mau harus menelanjangi segala kepalsuan dan kebobrokan dalam seluruh tatanan masyarakat.
Pertanyaan bagi kita semua dalam persidangan ini adalah, siapkah kita? Dan yang jauh lebih mendasar lagi, bersediakah kita?
Visi yang diusung dalam Tahun Rahmat Tuhan ini jelas bukan utopia. Sejauh kita ikuti perjalanan Yesus, terlihat jelas bahwa Ia menerjemahkan visi ini lewat pelayananNya. Dia keluar masuk desa, menyusuri lorong-lorong Judea dan Galilea untuk menyatu dengan kehidupan rakyat jelata. Itu juga yang diteruskan oleh gereja hingga kini. Ketika para penginjil datang membuka lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga kesehatan. Dan itu juga yang diteruskan oleh GPM hingga saat ini.
Artinya, mengkomunikasikan kabar baik bagi si miskin tidaklah cukup dengan kata-kata saja. "Komunikasi yang profetis menyatakan dirinya baik dalam kata-kata maupun perbuatan".
Apalagi masyarakat kita kini telah menjadi tawanan dari suatu mekanisme sosial, ekonomi, politik dan bahkan agama yang sepertinya bertumpu pada keseharian yang banal. Hari-hari kita telah sebegitu rupa ditawan oleh penampilan yang serba wah, serba menarik tetapi miskin dalam esensi kehidupan.
Sebab itu, menurut Gultom, PGI melalui Sidang Raya di Nias tahun 2014 menawarkan menawarkan alternatif bagi gereja-gereja di Indonesia untuk menumbuhkan spiritualitas keugaharian sebagai kontras terhadap globalisasi kerakusan saat ini. Spiritualitas keugahariaan mengajak kita untuk mengontrol diri dan mengatakan cukup, enough is enough dan pada saat yang sama peduli dengan lingkungan sekitarnya
Di sinilah pesan Yesaya jelas dan tegas menentangi segala bentuk penawanan karena Ia berusaha untuk membebaskan jiwa kemanusiaan. Namun demikian, rupanya setiap sistem, baik kebudayaan, politik, sosial, ekonomi maupun agama, cenderung menciptakan bentuk belenggunya sendiri. Dan sistem ini setiap saat siap membelenggu sebagian dari masyarakat kita sebagai tawanan termasuk gereja-gereja kita. Maka langkah paling awal bagi kita semua adalah keberanian membebaskan diri dari itu semua, dan mulai menukik pada esensi kehidupan.
Hanya dengan demikian kita mampu ”Menjadi Gereja yang Menghamba kepada Allah demi Kesejahteraan Bersama di Tengah-tengah Dunia”.
Dengan mengandalkan kekuatan Roh Kudus, persidangan kita ini pasti mampu dan dimampukan untuk merumuskan beragam keputusan dalam rangka memperkuat komitmen kita semua untuk memberitakan Tahun Rahmat Tuhan telah tiba. Tuhan memberkati kita semua. Amin.