“BATAS-BATAS KEMAMPUAN”
(Mengenang Para Pelayan Yang “Pergi” Dalam Keadaan Sakit)
Dalam satu dekade terakhir ini, berita mengenai PendetaGPM yang sakit telah menjadi “menu” dalam berbagaipercakapan secara internal, baik formal maupun non formal. Penyakit tidak pernah memiliki rumus pasti untuk “memilihkorban”. Laki-laki maupun perempuan, muda maupun ‘tua’,melayani di pusat kota, pinggiran kota maupun di wilayahterpencil; punya simpanan uang atau tidak, tidak ada bedanya.
Melalui media sosial (medsos), berita-berita itu dibagi dantersebar dengan cepat. Kita bahkan dibantu untuk memperolehinformasi tambahan tentang nama si sakit, tempat tugas si sakit, jenis penyakit yang diderita, tempat perawatan, keadaan terakhirsi sakit dan persoalan-persoalan yang dihadapi. Media sosialtelah menjadi jembatan artifisial yang menghubungkan sanaksaudara (keluarga), teman, sahabat, dan kenalan, dekat maupunjauh dalam waktu yang singkat.
Berita-berita derita yang dialami oleh Pendeta GPM (termasuk Penatua dan Diaken yang berjibaku dengan tugas-tugas pelayanan yang menyita waktu dan tenaga di pusat-pusatkota sampai wilayah terpencil) sebagai orang-orang yang “dekatdengan Allah”, lambat laun menyentak natur teologis yang secara turun-temurun kita yakini, bahwa orang-orang yang “dekat dengan Allah” akan dipelihara oleh-Nya. Dan salah satutanda pemeliharaan Allah itu dibuktikan dengan kesehatan yang prima.
Kesadaran teologis ini telah menggiring nyaris semuaorang yang berprofesi sebagai Pendeta untuk melayani sesama(sebagai tanda melayani Allah yang disembahnya) sepanjangwaktu, dan hampir lupa pada diri sendiri. Kesibukan melayanitelah membuat para Pendeta cenderung mengabaikan faktabahwa mereka adalah manusia.
Ya, Pendeta bukanlah makhluk rekaan seperti superman yang dipersepsi tidak mengalami rasa sakit (bahkan taktertandingi). Jika dalam budaya populer, kehilangan rasa disebabkan oleh banjirnya produk yang membelenggu hasratkarena aktifitas yang padat nyaris telah menjadi bawaanPendeta, karena tuntutan pelayanan.
Dalam budaya populer,“kehilangan rasa” terjadi ketika masyarakat cenderung makinmaterialis, instan dan sekuler, sehingga diskursus tentang Tuhan bagaikan suatu dunia asing yang tak terjangkau.
Pdt. Jacky Manuputty benar, saat mengusulkan perlunyamedical check up secara rutin bagi semua Pendeta GPM (diskusidalam group WA Balitbang, tanggal 26 April 2017). Pdt. Jacky Manuputty selanjutnya menulis: “terkadang kita takut check up, jangan sampai diketahui penyakit yang diderita.
Padahal dengancheck up, “kelainan” yang ditemukan bisa dikelola sejak dini. Peralatan kedokteran sekarang ini makin canggih dan asuransikesehatan juga semakin lancar pengurusannya bila diketahui tip dan trik mengurus pengobatan melalui BPJS.
Kalau di perusahaan-perusahaan ada ketentuan bahwasemua staf harus melakukan medical check up rutin karenaperusahaan melakukan investasi sumber daya manusia padasemua staf dan karyawannya (buruh) demi kemajuanperusahaan. Tanpa karyawan (buruh), perusahaan tidak bisamengejar atau memenuhi target operasi.
Perusahaan bisabangkrut, gulung tikar. Kecuali jika karyawan (buruh) perusahaan telah diganti dengan robot yang dapat bekerjasepanjang waktu, tanpa merasa sakit, tanpa mengeluh, tanpamemikirkan keluarga di rumah, dll. Jika sang robot mengalamigangguan, mungkin cukup dengan mengganti salah satu sukucadangnya. Masalah teratasi.
Tidak demikian halnya denganmanusia. Memang, kondisi sakit seseorang tidak bisa ditentukanhanya oleh satu faktor tunggal. Karena itu perlu ada ketentuangerejawi bagi setiap Pendeta GPM untuk melakukan medical check up, minimal setiap 1 – 2 tahun. Teknis pelaksanaannyadiatur sedemikian rupa dalam kerjasama dengan rumah sakitatau klinik tertentu, sehingga semua Pendeta GPM dapatmengambil bagian di dalamnya, tanpa kecuali.
Benar, dalam diri setiap orang Kristen – apalagi paraHamba Tuhan – sejak kecil sudah ditanamkan kesadarankolektif bahwa Allah dalam Yesus Kristus adalah “Tabib yang Agung”. Bahwa Allah sanggup menyembuhkan penyakitapapun. Asal kita meminta dengan sungguh-sungguh danpercaya.
Bahwa “bagi Allah tidak ada yang mustahil” (Lukas 1:37), jika Bapa di sorga menghendakinya. Tetapi bukankah kitajuga mudah “patah”, saat doa-doa kita dalam waktu yang panjang belum Tuhan jawab? Bukankah sambil berdoa, kitaperlu mengupayakan perawatan/pengobatan secara medis? Bukankah tenaga medis adalah kepanjangan tangan dari setiapkasih dan jawaban Allah, apapun bentuknya?
Akhir tahun 2020 sampai awal tahun 2021, kabar dukamenyentak beranda dunia maya dan dunia nyata. Kepergian Pdt. S.P. Titaley, S.Th., (mantan Ketua Sinode GPM periode 1995 – 2000) secara tiba-tiba pada tanggal 27 Desember 2020 dansejumlah warga gereja lainnya seakan “menandai” berlalunyatahun 2020. Tahun 2021 baru saja beranjak, kabar duka kembalimenyentak.
Allah “menginterupsi” perjalanan pelayanan dariPnt. Roy R.J. Reyper, Anggota MPH Sinode GPM, dan Pdt. Ny. Marlene Pattipeilohy-Samual. Kedua Pelayan ini memang sudahcukup lama bergumul dengan sakit yang diderita. Kematianadalah rahasia Ilahi. Makhluk manapun – termasuk manusia – tidak dapat melawan kehendak bebas Sang Ilahi, saat waktunyatiba. Tetapi panggilan Tuhan harus menyentak kesadaran tentangperlunya menjaga kesehatan diri dari para Pelayan gerejawisecara total (tidak lagi main-main) di tengah padatnya aktifitaspelayanan pada satu sisi, dan ancaman pandemic covid 19 padasisi lain.
Bahwa para Pendeta (termasuk Penatua dan Diaken) harus insaf, bahwa mereka bukan “makhluk setengah dewa”.Bahwa mereka rentan sakit. Karena itu, upaya untuk mengetahuikeadaan tubuh melalui medical check up sejak awal adalahlangkah yang bijaksana untuk memutus mata rantai penyebaranpenyakit pada tubuh. Atau minimal, sejak awal bisa diambiltindakan medis untuk menghambat dan menghentikan gangguansakitnya melalui perawatan/pengobatan secara rutin.
Saat menulis catatan singkat ini, beta membaca kembalikisah yang ditulis oleh Pdt. Dr. Andar Ismail dalam buku“Selamat Melayani Tuhan” dengan judul: “Perlukah GopalMenunggu Sampai Leela Mati?” (hal. 42 – 44). Rupalee(perempuan miskin yang bekerja sebagai binatu, dan suami yang bekerja di pertambangan di Bihar, India Timur) menanggungbeban hidup yang berat. Persediaan berasnya hampir habis, tetapi Gopal (anak tertua, berusia sekitar tiga tahun) seringmerengek lapar. Si Chotee (anak kedua, berusia sekitar duatahun) tiap hari demam. Beberapa hari kemudian, keadaan siChotee makin lemah. Rupalee mempunyai firasat bahwabayinya tidak akan hidup lama lagi. Benarlah, pada suatu malamia berhenti bernafas dalam pelukan Rupalee.
Sesuai dengan adat di India, jika ada orang yang meninggal, maka tetangga atau kerabat akan mengirim tandasungkawa berupa makanan. Demikianlah yang terjadi di kelurgaRupalee. Meja makan di rumah Rupalee penuh dengan pure e(roti pipih yang empuk dan gurih), kare e (sayur kuah) dan laddu(semacam onde goring yang manis).
Makanan itu bisa tahasampai satu minggu. Gopal sangat senang. Ia makan sepuasnya. Leela (adik Chotee, berusia satu tahun lebih) makan dengancukup lahap. Sementara Rupalee hanya mengambil sedikit saja.Ia makan dengan kepala tertunduk. Sebentar-sebentar air matanya menitik. Kadang-kadang air matanya menetes jatuh keatas piring makannya.
Seminggu kemudian makanan itu tinggal sedikit.Akhirnya pure e dan laddu yang terakhir habis dimakan Gopal.Besoknya, Gopal kembali merengek lapar. Beberapa minggukemudian Leela sakit perut dan demam. Ia pucat dan makinmenjadi kurus. Sudah beberapa hari ia hanya terbaring danmerintih. Tiap hari Gopal memandangi adiknya dengan rasa iba.Dielusnya tangan adiknya itu. Diurainya rambut Leela yang panjang itu.
Lalu pada suatu malam Gopal mendekati ibunya danbertanya dengan lirih: “Mama, kapan Leela akan mati?”.Rupalee terkejut dan tersentak: “Kenapa kamu bertanyabegitu?”. Gopal menjawab: “Supaya kita dapat pure e lagi, Mama”.
Keluarga Rupalee baru mempunyai makanan ketikabayinya meninggal. Perlukah Gopal menunggu sampai Leelamati, “… supaya kita dapat pure e lagi, mama?”.
Semoga kisah ini dapat mengugah dan menggugat nurani kita.
Tanah Tinggi, 4 Januari 2021.
Pdt. Max Chr. Syauta.