TANTANGAN.
"Pendidikan di Indonesia - apalagi di Maluku - sedang sakit" (jika tidak mau disebut "sekarat"). Hipotesa itu terasa getir, tetapi tak dapat dibantah. Apa mau dikata.
Tanda-tanda sakit itu cukup banyak. Apalagi bila kita menelisik lebih jauh sampai ke sekolah-sekolah di daerah 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal). Sebagian besar daerah 3T adalah beranda terdepan dari tapal batas Indonesia. Upaya-upaya penataan dan pembenahan terus dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Namun sampai saat ini, belum ada tanda-tanda perubahan besar dan komprehensif, hingga usia kemerdekaan RI ke 75 tahun 2020 ini.
Tenaga guru dalam jumlah dan kualitas (memiliki kualifikasi akademis) masih jarang dijumpai. Guru honor tamatan SMA masih cukup banyak dijumpai di tingkat SD. Hampir tidak ada program untuk pelatihan peningkatan kapasitas guru secara berkala. Masih dijumpai gedung sekolah yang reyot bahkan nyaris roboh. Hampir semua sekolah setingkat SD tidak memiliki perpustakaan. Bahan ajar dan buku bacaan sangat minim. Biaya operasional pendidikan sangat terbatas. Kalaupun ada dana Bantuan Operasional Sekolah atau BOS, manfaatnya kecil sekali bagi peningkatan kualitas pendidikan. Belum lagi persoalan moral Kepala Sekolah yang dalam banyak kasus sekaligus bertindak sebagai bendahara dan pembuat laporan keuangan. Tidak adanya penerang listrik. Meja-kursi yang tersedia tidak sebanding jumlah siswa per kelas. Jalan dan jembatan penghubung yang tidak tersedia. Akibatnya siswa-siswi harus berjalan kaki puluhan kilometer pergi-pulang, menerjang sungai yang deras dengan segala resikonya, agar bisa tiba di sekolah. Jaringan telekomunikasi dan hp android untuk belajar daring seperti sekarang, saat pandemik Covid 19 ini? Wah, jangan bermimpi terlalu tinggi. Intinya, fasilitas dan tenaga pendidik dan kependidikan pada sekolah-sekolah di perkotaan dengan sekolah-sekolah di perdesaan sungguh jauh berbeda, bagai langit dengan bumi.
Kesimpulannya, jika berpedoman pada Standar Nasional Pendidikan (SNP) sebagai kriteria minimal dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pendidikan untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu, maka dari 8 Standar Nasional Pendidikan, kemungkinan standar yang berkaitan dengan kurikulum, seperti Standar Isi, Standar Proses dan Standar Penilaian, memiliki peluang yang paling besar untuk diterapkan. Itupun bergantung kepada kemampuan guru untuk memahami muatan kurikulum. Kebijakan pembangunan pendidikan nasional yang diarahkan untuk pencapaian pilar pendidikan seperti: pemerataan layanan dan perluasan akses pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, bagai jauh panggang dari api. Apalagi bagi wilayah kepulauan seperti Maluku. Belum lagi kita bicara tentang tanggung jawab profesi. Ada guru yang selama berbulan-bulan tidak berada di sekolah, dan hal itu dianggap biasa-biasa saja.
MENJADI INDONESIA.
"Untuk menilai sesuatu, Anda harus mengalaminya secara langsung (be there)". Demikian kata pelopor antropologi sosial kelahiran Polandia, Bronislaw Malinowski dalam bukunya Argonauts Of The West Fasific. "Mengalami secara langsung" sebagai cara memahami Indonesia, bisa jadi terbersit juga dalam pikiran 8 orang Pengajar Muda (PM) Angkatan XVIII (dan angkatan-angkatan sebelumnya) dari Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar yang ditempatkan di seluruh wilayah NKRI, khususnya di kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), sejak Agutus 2019. Latar asal dan budaya mereka cukup beragam. Dari Batak, Pekanbaru, Bekasi, Bandung, Solo, Sulawesi. Demikian juga latar pendidikan.
MBD, (mungkin) adalah wilayah paling timur (dan terjauh) di NKRI yang pernah 8 orang Pengajar Muda ini datangi. Jauh (sekali) dari hiruk-pikuk. Untuk telponan saja, harus ke bukit, panjat pohon, atau ke pantai. Wilayah yang dulu distigmakan sebagai "belakang tanah" itu sama sekali tidak menyurutkan tekad dan kerinduan mereka untuk terlibat dalam gerakan untuk menginspirasi sesama. Antusiasme dan peran yang jarang dipilih oleh sebagian besar anak-anak muda di Indonesia - termasuk di Maluku - sekarang ini, baik laki-laki maupun perempuan.
Sebagaimana dijelaskan dalam laman website Indonesia Mengajar, Pengajar Muda adalah generasi muda terbaik bangsa yang direkrut, dilatih dan dikirimkan oleh Indonesia Mengajar untuk mengabdi di masyarakat sebagai guru di pelosok Indonesia selama 1 (satu) tahun.
Nama dan lokasi penempatan 8 orang Pengajar Muda di Kab. MBD masing-masing adalah:
1. Igo Lapeka (L), SD Kristen Bebar Timur, pulau Damer.
2. Pauline Samuyugi (P), SD Kristen Batumerah, pulau Damer.
3. Rachmadhiya Salsabila (P), SD Inpres Rumkuda, Pulau Romang.
4. Heppy Silaen (P), SD Negeri Ketty Letpey, pulau Lakor.
5. Khoirunissa (P), SD Kristen Elo, pulau Sermata.
6. Rahmad Hanif (L), SD Negeri Emplawas, pulau Babar.
7. Wahyu Floresti Wulandari (P), SD Kristen Latalola Besar, pulau Marsela.
8. Melati Oktaviani (P), SD Kristen Telalora, pulau Marsela.
Selama 1 (satu) tahun berinteraksi dan berinterelasi, pengalaman 8 orang Pengajar Muda ini pasti beragam dan menantang. Berhadapan dengan fasilitas pendidikan yang minim. Berhadapan dengan budaya yang baru, termasuk kebiasaan-kebiasaan yang hidup di masyarakat; apatisme dan/atau optimisme orang tua terhadap masa depan anak-anaknya. Mimpi-mimpi siswa-siswi, dan perjuangan berat untuk meraihnya. Berhadapan dengan kondisi geografis yang berciri laut-pulau. Moda transportasi darat yang terbatas, dan berbiaya tinggi. Naik kapal berhari-hari, diterjang ombak. Komunikasi, baik sarana, verbal dan non verbal, dialek, bahasa, dll. Tetapi itulah seninya menjadi relawan sekaligus penggerak. Tahan banting dan tak mudah menyerah.
Selain tantangan, tentu ada pengalaman baru yang darinya mereka belajar, bahwa mencintai Indonesia adalah dengan menjadi bagian yang utuh dari keberadaan masyarakat dan budayanya yang beragam. Menikmati keindahan dan kekayaan alamnya dengan pikiran terbuka dan hati yang bersyukur. Mencintai Indonesia, tidak sekedar menjadi orang Medan, Pekanbaru, Bekasi, Solo, Bandung, Jogya, Kendari, dll. Mencintai Indonesia adalah dengan "menjadi Indonesia" secara utuh. Membangun negeri, melihat bangsa ini maju, dan menjadi bagian di dalamnya, sekecil apapun peran kita. Dari Sabang sampai Merauke, dengan setiap mimpi dan problematikanya.
Salah satu pengalaman yang (mungkin) tak terlupakan adalah bagaimana para Pengajar Muda yang beragama muslim menjalani puasa ramadhan seorang diri, diantara keluarga angkat dan komunitas masyarakat yang beragama kristen. Bagaimana cara mereka dibangunkan di waktu subuh untuk sahur dan berbuka pada sore harinya, serta menu yang disediakan. Bagaimana mereka diingatkan untuk beribadah, dan tempat yang disediakan. Bagaimana mereka dijaga, diperlakukan dan dilibatkan dalam aktifitas hidup sehari-hari, di sekolah maupun dalam masyarakat. Itulah cara komunitas/masyarakat di MBD menghormati dan menghargai para Pengajar Muda ini, sekaligus cara komunitas/masyarakat MBD meng-Indonesia.
MENGGERAKAN DAN MENGINSPIRASI.
Selama setahun para Pengajar Muda ini mengajar (dan belajar) sambil menginspirasi. Pengajar Muda diharapkan dapat membagi inspirasi dan pengalamannya kepada siswa-siswinya dan menjadi jendela kemajuan bagi generasi harapan bangsa Indonesia yang selama ini jauh dari pusat-pusat pertumbuhan negeri ini. Pengabdian para Pengajar Muda ini telah membuka mata semua elemen masyarakat, begitu juga dengan Pemerintah Kabupaten.
Kehadiran para Pengajar Muda juga dapat menginspirasi pemerintah kabupaten setempat untuk melakukan replikasi atas program yang sama, sebagai bentuk pelibatan publik untuk menggerakan dunia pendidikan secara bersama-sama.
Di Kab. Maluku Tenggara Barat atau MTB (kini menjadi Kab. Kepulauan Tanimbar atau KKT), misalnya. Kehadiran para Pengajar Muda sejak tahun 2010 telah menginspirasi Pemerintah Kabupaten MTB untuk melakukan replikasi atas program Indonesia Mengajar menjadi Gerakan Tanimbar Mengajar atau GTM pada tahun 2015. Pemerintah Kabupaten MTB menilai bahwa metode yang dibawa para Pengajar Muda dari Indonesia Mengajar telah membawa dampak positif bagi masyarakat. Setelah melewati beberapa tahapan persiapan, program GTM akhirnya dimulai pada Februari 2016, diawali dengan pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Program GTM melalui Keputusan Bupati MTB, dengan visi: "Tanimbar Berbudaya, Cerdas dan Maju Melalui Pendidikan Berkualitas”,
dan misi: “Memantapkan sekolah model dalam mewujudkan pembelajaran yang menyenangkan, mewujudkan keluarga cerdas di Kabupaten MTB membangun kemandirian masyarakat dalam bidang pendidikan, Mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan untuk memecahkan persoalan masyarakat”.
(lihat https://www.dharapos.com, 2016/04).
Pada tahap awal, para penggerak Tanimbar sebagai aktor utama dalam GTM ini direkrut sebanyak 29 orang dan ditempatkan di 29 sekolah yakni di 15 SD, 10 SMP, 3 SMA dan 1 SMK yang berlokasi di 19 desa di 10 kecamatan.
Para penggerak Tanimbar Mengajar akan beraktifitas selama 1 tahun, dengan tugas antara lain melaksanakan pengajaran dan melatih ekstrakurikuler, melakukan kolaborasi, membentuk dan menciptakan komunitas, melakukan advokasi dan memublikasikan kemajuan pendidikan di lokasi tersebut.
Bupati MTB saat itu, Bitzael S. Temmar dalam sambutannya mengapresiasi pembentukan GTM di wilayah itu. Menurutnya, gerakan ini memandang pendidikan sebagai sebuah ikhtiar kolektif yang akan melibatkan semua elemen masyarakat yang peduli dan terlibat dalam menjemput sekaligus mewujudkan pendidikan bermutu di kabupaten MTB.
Bahwa pendidikan adalah jendela untuk melihat dunia. Tidak ada satu Negara di dunia ini, bahkan tidak ada satu bangsa, daerah bahkan individu manapun yang bisa mencapai prestasi-prestasi terbaik tanpa pendidikan.
Tak salah, satu-satunya cara yang dapat menjamin surfivalitas atau keberlanjutan hidup atau kemajuan pembangunan suatu daerah seperti di Jepang adalah melalui pendidikan, lanjut Bitzael S. Temmar.
Para Pengajar Muda di Kabupaten MBD - sejak Angkatan I - telah berupaya mengaktualisasi kehadiran mereka. Tantangan demi tantangan mereka sibak. Potensi tiap anak mereka eksplorasi. Pelibatan orang tua dan masyarakat mereka kerahkan. Apakah hanya sampai disitu? Semoga tidak.
Sama seperti pemerintah Kabupaten MTB, Pemerintah kabupaten MBD juga harus menciptakan manfaat tambahan dari gerakan, inspirasi, semangat dan kehadiran para Pengajar Muda. Inisiatif itu dapat dimulai oleh pemerintah daerah, tetapi juga oleh kelompok-kelompok masyarakat yang peduli dengan pendidikan.
BAGAIMANA DENGAN GPM?
Sejak melembaga sebagai gereja yang mandiri pada tahun 1935, dan pasca kemerdekaan RI, Gereja Protestan Maluku atau GPM membawa serta dalam dirinya warisan atas sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda, yang biasanya disebut "sekolah zending". Tidak heran, pada suatu masa tertentu sekolah-sekolah kristen yang tersebar di provinsi Maluku dan Maluku Utara itu pernah disebut "Sekolah GPM". Dalam jangka panjang, sekolah-sekolah yang dulu dibuka untuk menutrisi otak "masyarakat pribumi" yang miskin agar sekedar tahu membaca, menulis dan berhitung itu, di kemudian hari hidup apa adanya, tetapi tak mau mati.
Untuk mengorganisir sekolah yang banyak itu, dan rencana pembukaan sekolah baru di beberapa wilayah lainnya karena kebutuhan yang tak dapat dielakkan di kemudian hari, didirikanlah Yayasan Pembinaan Pendidikan Kristen Dr. J.B. Sitanala atau YPPK Dr. J.B. Sitanala oleh Majelis Pekerja Synode GPM pada 22 Juli 1977. Penugasan itu memperhadapkan YPPK Dr. J.B. Sitanala dengan sejumlah problematik pendidikan sampai saat ini. Lebih-lebih setelah provinsi Maluku dan sejumlah kabupaten dimekarkan menjadi daerah otonom dengan kewenangan yang diatur oleh undang-undang.
Berdasarkan laporan Pengurus Pusat YPPK Dr. J.B. Sitanala dalan Rapat Kerja Tahunan XVI, Oktober 2018, jumlah sekolah yang dikelola oleh YPPK Dr. J.B. Sitanala berjumlah 441 satuan pendidikan, dengan rincian sebagai berikut :
- PAUD/TK = 84 satuan pendidikan, 2.075 siswa dan 294 orang guru.
- SD = 304 satuan pendidikan, 22.812 siswa dan 1.842 orang guru.
- SMP = 40 satuan pendidikan, 5.427 siswa dan 362 orang guru.
- SMA/SMK = 14 satuan pendidikan, 1.717 siswa dan 237 orang guru.
Sebagian besar tenaga pendidik/guru berstatus PNS, honor dan sekitar 20 orang pegawai organik gereja.
Khusus untuk wilayah kabupaten MBD, jumlah sekolah yang dikelola oleh YPPK Dr. J.B. Sitanala berjumlah 85 satuan pendidikan, dengan rincian sebagai berikut :
- PAUD/TK = 15 satuan pendidikan.
- SD = 63 satuan pendidikan.
- SMP = 7 satuan pendidikan.
Membaca data di atas, masalah utama yang dihadapi oleh sekolah-sekolah Kristen/YPPK berkaitan dengan:
1. Standar Tenaga Pendidik dan Kependidikan. Rasio guru dengan murid sangat timpang, termasuk kualifikasi akademik yang dimiliki.
2. Standar Sarana dan Prasarana.
3. Standar Pengelolaan.
4. Standar Pembiayaan. Pada akhirnya,
5. Standar Kompetensi lulusan yang dihasilkan tidak mampu bersaing, baik untuk melanjutkan studi maupun untuk hidup di dalam masyarakat. Kalaupun ada lulusan yang mampu bersaing, mereka hanyalah segelintir orang yang memiliki daya juang yang tinggi.
Memperhatikan wilayah sebaran dan banyaknya sekolah yang dikelola, berbanding dengan kemampuan Yayasan, dalam Sidang Ke-37 Sinode GPM, Komisi Pendidikan merumuskan sejumlah pokok pikiran sebagai langkah strategis untuk penataan Yayasan dan sekolah-sekolah YPPK. Beberapa point dari pokok pikiran itu terinspirasi dari kehadiran dan karya Pengajar Muda dari Indonesia Mengajar yang ditempatkan di MTB/KKT dan MBD, antara lain :
1. Melakukan replikasi terhadap program Indonesia Mengajar menjadi "GPM Mengajar", untuk mengatasi kekurangan guru pada sekolah-sekolah di wilayah terisolir.
2. Pengangkatan pegawai organik gereja dan ditempatkan sebagai guru secara bertahap.
3. Pengembangan kerjasama dengan lembaga pendidikan lain (swasta) sebagai mitra dalam bentuk alih kelola sekolah di pusat-pusat kabupaten/kota.
4. Gerakan "Seribu Rupiah" dan pengembangan fundrising untuk pendidikan.
5. Merger dan alih status sekolah-sekolah tertentu berdasarkan hasil kajian Yayasan.
6. Restrukturisasi Yayasan dan pelembagaan yayasan baru yang bersifat otonom di setiap wilayah kabupaten/kota.
Sampai dimana pelaksanaan rekomendasi-rekomendasi itu oleh Pengurus Yayasan? Adalah wewenang MPH Sinode GPM bersama Pengurus YPPK Dr. J.B. Sitanala sebagai pengemban amanat Sidang Sinode untuk menjawab pertanyaan itu sesuai mekanisme gerejawi yang berlaku. Jika sudah dilaksanakan, sampai dimana capaiannya? Jika belum, apa kendalanya, dll.
"Pendidikan di Maluku sedang sakit". Pernyataan itu sesungguhnya ingin mengkonfirmasi, bahwa belum banyak upaya-upaya startegis dan komprehensif yang kita lakukan. Baik sebagai pemerintah dan masyarakat. Dan jika sampai hari ini, pendidikan di Maluku masih terpuruk, dengan kepala tegak Pengurus Yayasan bersama seluruh pemangku kepentingan harus mengaku bahwa fakta atau keadaan itu turut disumbangkan oleh sekolah-sekolah YPPK Dr. J.B. Sitanala.
RELAWAN PENGGERAK.
Awal abad XIX, jauh sebelum Indonesia merdeka, sejumlah pemuda asal Maluku telah menorehkan kisah-kisah pergerakan melalui karya mereka untuk kemanusiaan dan pendidikan.
Kesulitan karena faktor geografis, transportasi, budaya, sama sekali tak menyurutkan tekad mereka untuk dikirim/diutus ke beberapa wilayah di "Indonesia" yang masih "angker" saat itu, sebagai "relawan" (volunteer).
Sebagian besar dari antara mereka diutus ke Nieuw Guinea (kemudian berubah menjadi Irian, dan sekarang Papua). Di antara mereka ada yang bermarga Wattimury, Lainsamputty, Latumahina, Wattilete, Tuhumury, dll.
Sebagian lagi diutus ke Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat dan Nusa Tenggara Timur (Sumba, Sawu, dll). Sambil melayani dan menggerakan masyarakat setempat, mereka belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan.
Pengabdian tanpa pamrih dari pemuda-pemuda asal Ambon, Maluku itu didasari pemahaman bahwa pelayanan kepada manusia, termasuk mendidik generasi muda adalah amanat sekaligus anugerah Allah bagi mereka. Tingkat pendidikan yang terbatas, namun didorong oleh motivasi diri yang tinggi, mengantar mereka melaksanakan panggilan, pengutusan dan pelayanan di tanah Papua, Toraja, Poso, NTT, dll (lihat: Joice Essuruw dan Elifas Tomix Maspaitella, masing-masing dalam "Delapan Dekade GPM: Menanam, Menyiram, Bertumbuh dan Berbuah. Teologi GPM Dalam Praksis Berbangsa dan Bermasyarakat).
Saat menghadiri Sidang Raya XVII PGI di Waingapu, Sumba Timur (2019), kami (sejumlah utusan dari GPM) berkesempatan mengunjungi Jemaat GKS Tanalingu, sekaligus beribadah Minggu secara bersama. Usai ibadah, bapak Wunu Mbilijora (83 tahun) dan bapak Turu Maukuanda (64 tahun), saksi hidup atas penerimaan berita Injil di Tanalingu, bercerita tentang peran para Penginjil lokal, termasuk dari Ambon, sehingga Sumba berangsur-angsur menerima kekristenan (lihat: Elifas Tomix Maspaitella, Turu dan Wunu: Saksi Injil di Jemaat GKS Tanalingu, dalam Kutikata.blogspot.com).
Tak heran, hingga kini, kuburan para "relawan dan penggerak" itu bersama keturunan mereka masih terpelihara, dijaga dan dirawat oleh masyarakat setempat dengan penuh kecintaan.
TERIMA KASIH.
Waktu berputar cepat. Penempatan selama 1 (satu) tahun telah berakhir. Acara-acara pelepasan yang digagas dan dilakukan oleh masing-masing komunitas pendidikan dan masyarakat di lokasi penempatan selalu berakhir dengan air mata, tanda kecintaan. Jabatan tangan, rangkulan, pelukan dan "cipika-cipiki", tanda kasih yang tak rela bertepi. Tetapi memori/kenangan akan tetap terpelihara, dan karya-karya bersama untuk menginspirasi dan menggerakan tidak pernah berakhir.
Setiba di Ambon (19 Agustus 2020), para Pengajar Muda ini sempat menjadi "tamu" dari Ketua Sinode GPM. Perjumpaan itu dimanfaatkan dengan saling berbagi pengalaman, bercengkerama dan bernyanyi, sebagaimana kebiasaan orang Maluku, sambil menyantap rujak Natsepa.
Kesempatan itu digunakan juga oleh bapak Ketua Sinode GPM untuk menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada ke-8 Pengajar Muda itu secara khusus, dan kepada Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar secara umum. Atas metode dan ruang yang tidak hanya berpusat di dalam kelas. Bahwa dimana saja, proses belajar-mengajar bisa berlangsung. Atas kehadiran dan karya-karya yang menggerakan dan menginspirasi komunitas pendidikan dan masyarakat MBD secara umum.
Secara khusus Ketua Sinode GPM berterima kasih, atas bantuan dan kerelaan para Pengajar Muda untuk mendorong proses-proses pemasyarakatan literasi, pembukaan rumah/taman baca, membangkitkan harapan siswa-siswa untuk bermimpi tentang masa depan. Menginspirasi orang tua untuk tidak menyerah memperjuangkan masa depan anak-anak di tengah kesulitan dan tantangan yang tidak mudah, dll, pada jemaat-jemaat yang merupakan komunitas kristen di MBD. "Dengan HATI para Pengajar Muda itu datang. Dengan HATI, mereka menggerakan dan menginspirasi. Segala yang keluar dari HATI, selalu baik dan benar adanya. Kemanapun HATI dibawa, disitu terpancar kehidupan".
Gereja Protestan Maluku (GPM) tidak memberikan apa-apa. Kami berdoa, semoga setelah ini - kembali ke tengah keluarga - apa yang kalian impikan dan perjuangkan, entah pekerjaan, studi lanjut, berkeluarga, dll, selalu dirahmati oleh Allah.
Selamat jalan. Jika Allah berkenan, kita pasti jumpa lagi. Entah disini, di Ambon, atau dimana saja. Demikian harapan Pdt. Athes Werinussa, Ketua Sinode GPM.
Senin, 24 Agustus 2020, ke-8 orang Pengajar Muda itu bertolak ke Jakarta. Bergabung dengan para Pengajar Muda lainnya dari berbagai wilayah penempatan di Indonesia.
Jangan lupa MBD. Jangan lupa Ambon, Maluku.
Kalwedo!
-------------
Penulis: Pdt. Max Syauta.